Friday, September 4, 2009


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Hikmah di Balik Larangan dalam Syari’at Islam

Begitu banyak kaum yang binasa akibat melanggar syari’at sebagai alasan atas kejahilan dan kezaliman mereka. Allah Ta’ala berfirman, ertinya:

“Sungguh Kami telah mengemukakan amanah pada langit, bumi dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanah tersebut dan mereka khuatir terhadapnya dan dipikullah amanah tersebut oleh manusia. Sungguh, manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al Ahzab:72)

Syaikh Abdurrahman Ibn Nashir as-Sa’di berkata, "Allah mengagungkan urusan amanah yang Dia amanatkan kepada para mukallaf, iaitu melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan, dalam kondisi sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan”.

Kenyataannya, majoriti manusia lebih sulit untuk meninggalkan larangan dibandingkan melaksanakan perintah padahal menurut logiknya, seharusnya meninggalkan larangan relatif lebih mudah dibandingkan melaksanakan perintah. Sebab untuk meninggalkan larangan tidak diperlukan usaha dan tenaga, berbeda dengan perintah. Hal ini disebabkan, meninggalkan perkara yang dilarang itu bertentangan dengan hawa nafsu.

Berbeda dengan melaksanakan perintah, yang pada umumnya tidak bertentangan dengan hawa nafsu. Kerana itulah Allah Ta’ala menganugerahkan ganjaran yang besar dan memberi pujian pada orang yang mampu menahan hawa nafsunya. Sebahagian ulama bahkan mengatakan larangan itu sifatnya lebih berat dibandingkan perintah. Sebab, tidak ada dispensasi (keringanan) sedikitpun bagi pelanggaran larangan, sedangkan pelaksanaan perintah dilakukan sesuai kemampuan sebagaimana sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, ertinya:

“Jika aku melarang dari sesuatu maka tinggalkanlah dan apabila aku perintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukan semampu kalian.” (HR. Bukhari-Muslim)

Hal ini juga senada dengan ucapan sebagian salaf, “amal-amal kebajikan itu dilakukan oleh orang baik maupun penderhaka. Sedangkan maksiat hanya dapat ditinggalkan oleh orang yang shiddiq (jujur, teguh keimanannya) .”

Imam Ibn Qayyim rahimahullah berkata, “sesungguhnya bangunan dan pondasi syari’at dibangun atas hikmah dan kemaslahatan para hamba, di dunia dan akhirat. Seluruh syari’at Islam adalah keadilan, rahmat, maslahat dan hikmah.”

Syari’at Islam itu sendiri terdiri dari perintah dan larangan, maka larangan yang berlaku terhadap para hamba pun didasarkan atas hikmah dan kemaslahatan.

Tujuan dari syari’at (Maqaashidu Asy-Syari'ah) diantaranya iaitu:

(1) untuk pemeliharaan agama, seperti larangan bagi seorang Muslim untuk pindah agama,
(2) pemeliharaan jiwa, seperti larangan untuk membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan syari’at,
(3) pemeliharaan akal, seperti larangan untuk meminum khamr (arak),
(4) pemeliharaan keturunan, seperti larangan berzina
(5) pemeliharaan harta, seperti larangan mencuri.

Mengingat eksistensi larangan itu dibangun atas hikmah dan maslahat maka pelanggaran terhadap larangan dan perbuatan dosa pasti akan menimbulkan mudharat, baik di dunia maupun di akhirat. Perbuatan inilah yang telah membinasakan umat-umat terdahulu.

Bukankah akibat dosa dan maksiat yang menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari syurga yang penuh dengan kenikmatan menuju dunia yang penuh dengan penderitaan dan kesedihan? Bukankah dosa yang menyebabkan tenggelamnya penduduk bumi (kaum Nabi Nuh), hingga air menutupi puncak-puncak gunung? Renungilah bagaimana suara yang menggelegar membinasakan kaum Tsamud, terjadinya hujan batu dan terangkatnya tanah hingga menjungkir balikkan kaum Luth, terkirimnya awan yang menurunkan hujan api yang menghancurkan kaum Syu’aib dan binasanya orang-orang yang zalim seperti Fir’aun disebabkan oleh dosa-dosa?

Sungguh seseorang belumlah dikatakan bertakwa selama ia masih melakukan perbuatan yang dilarang syari’at walaupun ia seorang yang tekun menjalankan perintah agama. Sebab definisi takwa itu sendiri melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-laranganNy a.

Termasuk cermin peribadi yang bertakwa iaitu meninggalkan perkara-perkara yang masih samar (syubhat), iaitu perkara yang tidak jelas antara kehalalan dan keharamannya. Sebab, apabaila seseorang terjerumus ke dalam perkara yang syubhat maka dikhuatirkan ia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram sementara ia tidak menyadarinya. Jika perkara yang syubhat saja diperintahkan untuk ditinggalkan maka untuk perkara yang haram tentu lebih ditekankan untuk ditinggalkan sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, ertinya:

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya ada perkara yang samar (syubhat), dimana kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara yang samar, maka sungguh dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjatuh dalam perkara-perkara yang samar, maka ia akan terjatuh dalam perkara-perkara yang haram. Bagaikan penggembala kambing yang menggembalakan kambingnya diperbatasan orang lain, hampir-hampir dia jatuh ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja memiliki batasan. Ketahuilah, sesungguhnya batasan Allah adalah perkara-perkara yang diharamkanNya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Sesungguhnya total agama itu kembali kepada pelaksanaan perintah, meninggalkan hal-hal yang dilarang dan menahan diri dari syubhat. Umar Ibn Abdul Aziz berkata,”bukanlah ketakwaan kepada Allah itu dengan shalat malam, puasa siang hari atau menggabungkan keduanya, namun ketakwaaan itu adalah mengerjakan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah dan meninggalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah”.

Beliau juga berkata, "aku ingin sekiranya aku tidak mengerjakan shalat kecuali shalat lima waktu dan shalat witir; menunaikan zakat dan kemudian tidak bersedekah lagi meskipun hanya satu dirham; melaksanakan puasa Ramadhan dan kemudian tidak berpuasa lagi meskipun hanya satu hari; mengerjakan haji yang wajib dan kemudian tidak menunaikan haji lagi; akan tetapi kemudian aku kerahkan seluruh sisa kekuatan untuk menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah.”

Benteng pelindung seorang hamba dari perkara-perkara yang haram dan dilarang adalah takwa kepada Allah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ertinya:

”Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada. Iringilah perbuatan burukmu dengan kebajikan, nescaya kebajikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad)

Imam Ibn Rajab berkata, "perkara-perkara yang masuk ke dalam ketakwaan yang sempurna adalah melaksanakan perkara-perkara yang wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang haram serta syubhat. Boleh juga masuk di dalamnya mengerjakan perkara-perkara yang sunnah dan meninggalkan perkara-perkara yang makruh. Inilah tingkat ketakwaan yang paling tinggi.”

(Diringkas dari buku Sepercik Hikmah di Balik Larangan dalam Syari’at Islam, Abu Faris An-Nuri, Media Tarbiyah)

by Andi Rahmanto
------------ --------

Pustaka Imam Asy-Syafi'i sent a message to the members of Pustaka Imam Asy-Syafi'i ( MailingList Facebook).

No comments:

Post a Comment